Tingginya angka putus sekolah di Indonesia
mendorong Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk lebih proaktif menarik
anak-anak kembali ke bangku sekolah dengan memberikan beasiswa, sebagai bagian
dari gerakan anti putus sekolah.
Data Kementerian menunjukkan
setiap tahunnya lebih dari 1,5 juta anak tidak melanjutkan pendidikan ke
jenjang yang lebih tinggi. Data 2007
memperlihatkan, hanya 80 persen murid sekolah dasar yang bertahan hingga lulus.
Dari jumlah lulusan tersebut, hanya sekitar 61 persen yang melanjutkan ke
sekolah menengah pertama dan yang sederajat.
Juru bicara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Ibnu Hamad, mengatakan
lembaganya akan bekerja sama dengan dinas pendidikan di daerah untuk memantau
kasus putus sekolah di daerahnya dan menindaklanjuti temuan mereka dengan
mengajak anak-anak putus sekolah tersebut kembali melanjutkan pendidikan
mereka. Dari segi pembiayaan, pemerintah
akan memberikan bantuan beasiswa bagi siswa miskin yang berasal dari APBN bagi
14,3 juta pelajar diberbagai tingkatan.
Sekretaris Jenderal Komisi Nasional Perlindungan Anak, Syamsul Ridwan,
menyatakan tingginya angka putus sekolah berkorelasi dengan kasus buta aksara
yang cukup memprihatinkan di Indonesia. Komisi
ini memperkirakan ada lebih dari 11,7 juta anak usia sekolah di Indonesia yang
belum bisa baca tulis alias buta aksara.
Kasus buta aksara tidak hanya terjadi di kota-kota besar tapi juga di
daerah perbatasan dan pedalaman yang sulit terjangkau akses pendidikan. Oleh karena itu, tambahnya, gerakan anti
putus sekolah ini juga harus dapat menjangkau anak-anak di wilayah yang
rawan buta aksara tersebut.
Agar pelaksanaannya efektif dan tepat sasaran, Komisi Nasional Perlindungan
Anak berharap Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dapat bersikap lebih
terbuka dengan turut melibatkan lembaga lain seperti masyarakat dan lembaga
sosial dalam melakukan program pengentasan kasus putus sekolah ini.
Komnas Perlindungan Anak berharap program ini nantinya dapat menyasar
anak-anak indonesia yang terputus hak pendidikannya karena situasi khusus
seperti anak-anak yang tidak memiliki identitas formal dan anak-anak dari
kelompok marjinal seperti anak-anak jalanan dan korban penyelundupan manusia.
Pengamat pendidikan Arief Rahman “Pendidikan yang tidak mendiskriminasikan
rakyat kita ini, itu yang harus dikembangkan,” ujarnya.
Sementara itu berdasarkan laporan Education for All Global Monitoring
Report yang dirilis UNESCO 2011, tingginya angka putus sekolah menyebabkan peringkat
indeks pembangunan Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan dengan
negara-negara berkembang lainnya.
Indonesia hanya berada di peringkat 69 dari 127 negara dalam daftar
tersebut, di bawah Malaysia yang berada di posisi 65 dan Brunei di posisi 34.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.